TANGERANG, INTTI.ID – Setelah selama sebulan mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), sebanyak sembilan dari 150 siswa memilih mengundurkan diri dari Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 Banten di Kota Tangerang Selatan (Tangsel).
Para siswa yang keluar dari SRMA 33 Banten berasal dari berbagai daerah, di antaranya dari Kabupaten Tangerang, Pandeglang, Cilegon, Kota Serang, dan Kota Tangsel sendiri. Mereka yang mengundurkan diri memiliki alasan berbeda.
Kepala SRMA 33 Banten Tangsel, Gina Intana Dewi mengungkapkan, para siswa yang keluar mayoritas berasal dari latar belakang keluarga dengan tingkat kerentanan sosial dan ekonomi tinggi.
BACA JUGA: Sekolah Rakyat Menengah Atas 33 Banten di Tangsel Resmi Beroperasi
Mereka yang sudah mengundurkan diri, kata Gina, sebelumnya sudah mendapat assessment dengan sangat maksimal.
Mereka yang mundur memiliki alasan beragam, mulai dari rasa rindu rumah, belum terbiasa dengan disiplin ketat, hingga kebiasaan lain yang dibawa dari lingkungan sebelumnya.
“Kami punya guru BK yang sangat mumpuni melakukan assessment psikologis kepada mereka,” ujar Gina dalam kunjungan kerja spesifik Komisi VIII DPR RI di sekolah tersebut, Rabu (17/9/2025).
Gina menyampaikan, pihaknya selama ini telah melakukan koordinasi dengan dinas sosial, pendamping PKH, dan pihak keluarga untuk memastikan keselamatan dan pendampingan lanjutan bagi siswa-siswa SRMA 33 Banten.
“Sembilan siswa kami dari daerah yang berbeda dan jaraknya sangat jauh. Ada yang dari Cilegon, Pandeglang atau Kabupaten Tangerang. Kami bekerjasama dengan PKH dan dinas sosial untuk asesmen kepada mereka yang pulang ke rumahnya,” katanya.
Gina mengatakan, tantangan pendidikan di SRMA 33 tidak hanya sebatas pengajaran akademik, melainkan juga rehabilitasi sosial dan karakter.
“Ada yang dijemput orang tuanya, ada yang pulang sendiri tanpa sepengetahuan kami. Dan kami selalu berkoordinasi dengan dinas sosial, juga PKH,” jelasnya.
BACA JUGA: Sekolah Rakyat Tingkat SD di Lebak Tidak Penuhi Kuota
Gina menyampaikan, para siswa yang umumnya datang dari keluarga miskin ekstrem mempunyai kompleksitas beragam. Menurut dia, mereka sudah memiliki beban psikologis setelah menjalani KBM yang baru berlangsung satu bulan.
Gina menilai mereka memiliki sedikit spesial dari segi sosial, ekonomi maupun psikologis. Karena dalam satu bulan mengikuti KBM, mereka sudah membawa beban psikologis dari keluarganya.
“Banyak dari mereka yang yatim, ditinggalkan orang tua, atau berasal dari keluarga broken home atau yatim piatu, banyak sekali seperti itu,” imbuh Gina.
Dalam rapat evaluasi itu, Anggota Komisi DPR RI Singgih Januratmoko menekankan pihak sekolah agar melakukan pendekatan awal dengan mengedepankan adaptasi lingkungan dan pembentukan karakter siswa sebelum mereka memasuki kurikulum akademik.
“Kalau kami lihat yang harus segera dibenahi adalah masa adaptasi, bagaimana polanya agar siswa betah tinggal di sekolah,” ujarnya seraya menyebut adaptasi menjadi kunci utama bagi siswa SRMA.(Ald)