Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Nasional

Dinilai Paradoks, MK Pisah Pemilu Nasional dan Lokal

Avatar photo
14
×

Dinilai Paradoks, MK Pisah Pemilu Nasional dan Lokal

Sebarkan artikel ini
ketua mk suhartoyo membacakan putusan pemilu nasional dan lokal dipisah
Ketua MK Suhartoyo/Ist

Jakarta, Intti.id – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal terpisah mulai 2029.

Pemilu nasional yaitu untuk memilih presiden dan wakilnya atau Pilpres, dan anggota DPR, juga anggota DPD.

Advertising
banner 425 x 400
Baca Artikel Scroll ke Bawah

Sedangkan Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota serta pemilihan kepala daerah alias Pilkada.

Pelaksanaan kedua jenis Pemilu itu diberi jeda paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan. Sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden.

Hal tersebut tertuang dalam putusan MK dengan nomor perkara 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Putusan dibacakan oleh Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang pleno di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (26/6/2025).

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa sejumlah pasal dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 jika tidak dimaknai secara berbeda untuk ke depannya.

Selama ini, pelaksanaan pemilu nasional dan lokal sering kali dilakukan secara serentak dalam satu tahun yang sama.

Namun, menurut MK, pola ini dinilai menyulitkan proses demokrasi dan menghambat efektivitas pemerintahan.

Dinilai Paradoks

Perubahan pemisahan waktu pelaksanaan Pemilu nasional dan Pemilu lokal pada putusan terbaru MK itu dinilai paradoks.

Pasalnya, MK sebelumnya telah mengeluarkan putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 pada 26 Februari 2020 yang memberikan enam opsi keserentakan pemilu.

“Tapi putusan MK yang baru justru membatasi, ini paradoks,” ujar Anggota Komisi II DPR Muhammad Khozin Khozin, seperti dikutip Kompas, Jumat (27/6/2025).

Baca Juga: Tok! MK Putuskan SD dan SMP Swasta Gratis

Menurut Khozin, MK seharusnya konsisten dengan putusan sebelumnya yang memberi pilihan kepada pembentuk undang-undang dalam merumuskan model keserentakan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

“Bahwa UU Pemilu belum diubah pasca putusan 55/PUU-XVII/2019 tidak lantas menjadi alasan bagi MK untuk lompat pagar atas kewenangan DPR. Urusan pilihan model keserentakan pemilu merupakan domain pembentuk UU,” tegas Khozin.

Lanjutnya, dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019 juga tegas menyebutkan bahwa MK tidak berwenang menentukan model keserentakan pemilihan.

“Putusan 55 cukup jelas, MK dalam pertimbangan hukumnya menyadari urusan model keserentakan bukan domain MK, tapi sekarang justru MK menentukan model keserentakan,” imbuh Khozin.(ejp)

Sumber: Kompas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *