Oleh: Lia Andriani
Penulis, Pendidik dan Praktisi Pendidikan Banten
Kasus seorang siswa yang merokok di lingkungan sekolah hingga memicu aksi mogok lebih dari 600 siswa di salah satu SMA di Kabupaten Lebak telah mengguncang dunia pendidikan di Banten. Keputusan Pemerintah Provinsi Banten untuk menonaktifkan kepala sekolah yang menegur siswa tersebut memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Pertanyaan publik pun muncul: apakah tindakan kepala sekolah yang berusaha menegakkan disiplin harus langsung dijatuhi sanksi administratif tanpa proses klarifikasi yang proporsional? Apakah DPRD, khususnya Komisi V yang membidangi pendidikan, sudah bersikap arif dalam merespons persoalan ini?
Ketika Pendidikan Ditarik ke Arah Politik
Pendidikan seharusnya menjadi ruang moral, bukan arena politik. Namun dalam kasus ini, terlihat bagaimana persoalan yang semula bersifat etik dan kedisiplinan berubah menjadi perdebatan politik. Beberapa anggota DPRD bahkan menyerukan agar Plt Kepala Dinas Pendidikan Banten ikut dicopot, seolah pencopotan pejabat menjadi solusi atas setiap masalah.
Padahal, yang dibutuhkan bukan pertukaran jabatan, melainkan pemulihan kepercayaan dan wibawa pendidikan. Komisi V DPRD Banten seharusnya menjadi pengawal moral dan kebijakan pendidikan, bukan sumber tekanan politik baru bagi dunia sekolah.
Guru di Garis Depan
Kepala sekolah dan guru adalah garda terdepan pendidikan. Mereka berhadapan langsung dengan perilaku siswa yang beragam dan kompleks. Ketika seorang siswa merokok di sekolah, tindakan kepala sekolah untuk menegur atau memberikan sanksi adalah bagian dari proses pendidikan karakter.
Namun, ketika tindakan tegas itu berujung pada sanksi tanpa pembelaan dari institusi, pesan moral yang sampai ke publik menjadi terbalik: guru yang menegakkan aturan dianggap salah, sementara pelanggaran siswa dibenarkan atas nama empati. Situasi seperti ini berbahaya karena dapat melemahkan otoritas guru dan menurunkan disiplin di sekolah-sekolah lain.
Diamnya PGRI dan Krisis Keteladanan
PGRI sebagai organisasi profesi guru seharusnya tampil sebagai pelindung moral bagi tenaga pendidik. Diamnya PGRI dalam kasus ini menimbulkan kesan bahwa organisasi tersebut lebih memilih aman secara politik daripada berpihak pada nilai-nilai pendidikan.
Membela guru bukan berarti membenarkan kekerasan, tetapi menegaskan bahwa setiap tindakan pendidik harus dilihat dalam konteks pembentukan karakter, bukan penghukuman. Guru yang menegakkan aturan dengan niat mendidik seharusnya diberi ruang klarifikasi dan pembinaan, bukan langsung dijatuhi sanksi.
Pendidikan yang Bijak
Gubernur, DPRD, Dinas Pendidikan, dan PGRI perlu bersinergi mencari solusi yang mendidik dan menenangkan. Anak yang bersalah perlu dibina, bukan dibela membabi buta. Kepala sekolah yang berusaha menegakkan kedisiplinan perlu dilindungi, bukan dikorbankan untuk kepentingan politik jangka pendek.
Mendidik memang tidak selalu populer, namun keputusan yang benar secara moral akan lebih bermakna bagi masa depan generasi muda Banten. Kasus di Lebak hendaknya menjadi pelajaran berharga bahwa pendidikan tidak boleh dipolitisasi.
Penutup
Kasus ini memperlihatkan bahwa pendidikan di Banten sedang diuji. Tugas DPRD bukan hanya menyoroti masalah, tetapi mencari solusi yang berkeadilan. Pemerintah perlu memastikan kebijakan pendidikan tetap berpihak pada guru dan siswa secara seimbang.
Karena sesungguhnya, pendidikan bukan tentang siapa yang salah atau benar, melainkan tentang bagaimana kita semua belajar untuk menjadi lebih bijak dan bermartabat.(*)















