Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Ekbis

Mulai 2026, PKL di Kota Cilegon Bakal Kena Pajak

Avatar photo
17
×

Mulai 2026, PKL di Kota Cilegon Bakal Kena Pajak

Sebarkan artikel ini
Mulai 2026, PKL di Kota Cilegon Bakal Kena Pajak
Pedagang pinggir jalan di Kota CIlegon, harus siap-siap dikenai pajak jika omsetnya lebih dari Rp5 Juta.

CILEGON, INTTI.ID — Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta pedagang kaki lima (PKL) yang membuka usahanya di Kota Cilegon, Banten, mulai awal tahun depan harus siap-siap mengeluarkan dana lebih untuk membayar pajak penghasilan.

Pemerintah Kota (Pemkot) bersama DPRD Kota Cilegon saat ini tengah merampungkan aturan baru yang akan mengubah lanskap perpajakan di daerah berjuluk Kota Baja tersebut. Dipastikan pada 2026, para PKL hingga pedagang makanan pinggir jalan yang omsetnya di atas Rp5 juta akan dikenakan tarif pajak.

Advertising
banner 425 x 400
Baca Artikel Scroll ke Bawah

Kebijakan ini merupakan hasil dari finalisasi Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Aturan ini telah melalui pembahasan intensif antara Panitia Khusus (Pansus) DPRD dan tim dari Pemkot Cilegon.

Ketua Pansus Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Rahmatulloh kepada wartawan usai memimpin Rapat Kerja Pembahasan Finalisasi Raperda PDRD di Gedung DPRD Cilegon, Rabu (10/12/2025) mengatakan, pengenaan tarif pajak sebagai upaya optimalisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Sekaligus menata ulang struktur retribusi jasa usaha di Kota Cilegon,” imbuhnya.

BACA JUGA: Bupati Serang Larang Pejabatnya Bepergian Selama Libur Nataru

Ia menegaskan ada pergeseran target wajib pajak dan retribusi, khususnya bagi sektor usaha kuliner yang selama ini mungkin belum tergarap maksimal. Menurutnya, retribusi bidang pajak dan OPD berpendapatan bisa bertambah sesuai perubahan tarif.

Lebih jelas Rahmatulloh menambahkan, poin krusial dalam aturan baru ini adalah penetapan ambang batas penghasilan. Jika sebelumnya aturan pajak menyasar UMKM dengan penghasilan Rp2 juta, kini batas bawah tersebut dinaikkan menjadi Rp5 juta.

Namun, penegakannya dipastikan akan lebih ketat dan meluas, menyasar pedagang yang selama ini dianggap informal. “Semua PKL, restoran, ketika penghasilan sudah lima juta, ya kena pajak,” tegasnya.

Hindari Kebocoran Retribusi dan Praktek Pungli

Rahmatulloh mencontohkan secara spesifik jenis usaha yang kerap dianggap kecil namun memiliki perputaran uang yang tinggi, seperti pedagang pecel lele. Menurutnya, banyak usaha sektor ini yang omzet bulanannya memenuhi syarat untuk dikenakan pajak daerah.

“Dulu pelaku UMKM yang berpenghasilan 2 juta kena pajak, sekarang tidak. Kami usulkan jadi lima juta kena pajak. Jangan salah, pedagang pecel lele pinggir jalan kalau ramai hasilnya bisa Rp5 juta sebulan,” ungkapnya.

Meskipun terdengar memberatkan bagi pelaku usaha kecil, pihak legislatif menjamin bahwa kebijakan ini telah melalui kajian mendalam agar tidak mematikan ekonomi kerakyatan. Kenaikan tarif retribusi difokuskan pada layanan yang dikelola pemerintah maupun sektor jasa umum.

“Kenaikan tarif kalau di presentasi, kenaikan tarif 5–10 persen. Itu tidak memberatkan masyarakat, karena itu sudah ada kajian. Dan bukan pajak yang naik, tapi retribusi seperti parkir, layanan sampah, layanan jasa makan dan minum yang dikelola oleh pelaku UMKM,” ucapnya.

Selain menyasar pedagang, Raperda PDRD ini juga memperluas objek retribusi ke sektor fasilitas umum dan olahraga. Anak-anak muda dan masyarakat umum yang biasa menggunakan fasilitas olahraga milik pemerintah secara cuma-cuma, ke depannya harus bersiap membayar retribusi.

Hal ini mencakup pengelolaan lahan, parkir, hingga penyewaan gedung di bawah naungan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora). Lalu retribusi Dispora tentang pengelolaan lahan, parkir, dan penyewaan gedung.

“Masyarakat menggunakan fasilitas olahraga milik Pemkot secara gratis. Sekarang, harus berbayar retribusi, mengacu pada kabupaten dan kota lain,” katanya.

BACA JUGA: Aktivis Mahasiswa Laporkan Proyek Medical Center RSUD Cilegon ke KPK

Di sisi lain, isu parkir tepi jalan nasional juga menjadi sorotan dalam regulasi baru ini. Ada potensi pergeseran mekanisme pemungutan yang selama ini menjadi area abu-abu atau bahkan tidak terpungut sama sekali oleh daerah karena kewenangan pusat.

“Kalau pajak masih sama dengan yang lalu, tidak ada perubahan, kecuali kalau seperti pajak parkir tepi jalan nasional yang semula tidak boleh dipungut. Ke depan boleh dikerjasamakan dengan pemprov dan pusat. Kalau boleh dikerjasamakan, mungkin itu akan dipungut retribusi parkir tepi jalan nasionalnya,” ujarnya.

Namun, jika kerja sama dengan pemerintah pusat atau provinsi tidak terealisasi, Pemkot Cilegon menyiapkan skenario alternatif dengan membebankan pengelolaan kepada pemilik lahan di sekitar area tersebut.

Hal ini untuk menghindari kebocoran pendapatan ke pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab alias pungutan liar (pungli).

“Kalau tidak diperbolehkan, terpaksa kita akan mengalihkan ke pajak parkir. Mau tidak mau pemilik lahan-lahan harus mengelola parkirnya. Nanti dipungut pajak parkirnya. Karena retribusinya tidak terpungut oleh kita, tapi pungutannya ada di lapangan. Itu kan larinya antah-berantah,” tuturnya.

BPKAD Bakal Memperbanyak Tapping Box

Menanggapi finalisasi aturan ini, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan dan Aset Daerah (BPKPAD) Cilegon, Dana Sujaksani menyatakan, perubahan tarif ini adalah respons langsung terhadap evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Pemerintah daerah didorong untuk lebih mandiri dalam mengelola asetnya demi peningkatan PAD.

“Misalnya Stadion Seruni, Stadion Jombang, lapangan tenis PCI, hingga rumah dinas, itu akan dikenakan tarif retribusi,” katanya merinci aset-aset yang bakal dikomersialkan secara resmi.

Dana optimistis dengan penerapan aturan baru ini, potensi pendapatan daerah pada tahun 2026 akan terdongkrak signifikan, sejalan dengan persentase kenaikan tarif yang ditetapkan.

Namun, ia memastikan proses komersialisasi aset tidak akan dilakukan serampangan.

“Kenaikan tarif kalau di presentasi, kenaikan tarif 5–10 persen,” tambahnya sembari memastikan setiap aset akan dinilai fungsi dan kelayakannya terlebih dahulu sebelum disewakan.

Tantangan terbesar dalam penerapan pajak bagi PKL dan UMKM adalah validasi data omzet. Untuk menentukan apakah seorang pedagang pecel lele atau pelaku usaha lain telah mencapai omzet Rp5 juta, pemerintah akan menggunakan pendekatan hibrida, yakni pengakuan jujur pelaku usaha (self-assessment) dan peninjauan langsung ke lapangan.

Guna menutup celah kecurangan dan memodernisasi sistem perpajakan, BPKPAD Cilegon berencana melakukan ekspansi teknologi pengawasan secara masif. Salah satunya dengan memperbanyak pemasangan alat perekam transaksi atau tapping box.

Jumlah tapping box yang saat ini hanya 114 unit, ditargetkan bertambah menjadi 200 hingga 300 unit pada tahun depan. Langkah ini dinilai efektif untuk memantau transaksi riil di lapangan secara real-time.

Selain perangkat keras, inovasi digital juga disiapkan untuk mempermudah para pedagang kecil. Dana menyebut pihaknya akan meluncurkan aplikasi pencatat transaksi otomatis dan menyederhanakan sistem pembayaran menggunakan QRIS.

“Cara ini diharapkan dapat mendorong digitalisasi ekonomi di kalangan PKL Cilegon,” tandasnya.(Ald)

sumber: banpos.co

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *