Tangerang, Intti.id – Sindikat penyelundupan benih bening lobster (BBL) ke luar negeri yang berhasil dibongkar Polresta Bandara Soekarno-Hatta (Soetta) melakukan aksinya begitu terencana.
Betapa operasi bisnis benih lobster ilegal itu melibatkan berbagai pihak, yang juga diduga melibatkan oknum pegawai di Bandara Soetta.
Tujuh orang terlibat berhasil ditangkap, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara 5 orang kawanannya masuk dalam daftar pencarian orang alias DPO.
Ketujuh tersangka penyelundup benih lobster yang berhasil ditangkap yaitu berinisial RK, AJ, JS, WW, DS, RS dan AN. Sementara HE, U, LNH, S dan B masuk dalam DPO.
Kasat Reskrim Polresta Bandara Soetta Kompol Yandri Mono menjelaskan, dalam menjalankan aksi penyelundupan tersebut tujuh tersangka memiliki peran yang berbeda-beda.
Tersangka RK yang berprofesi sebagai petugas keamanan berperan meloloskan pengiriman 3 koli barang yang berisi 3 koper BBL dengan imbalan Rp. 4 juta per koper.
Tersangka AH berkoordinasi dengan petugas keamanan dan mengantarkan BBL ke terminal Kargo dengan menggunakan kendaraan sewa, dan mendapatkan bayaran Rp 1 juta per koper.
Tersangka JS berperan meloloskan barang melalui X-Ray dengan imbalan Rp. 4 juta per koper melalui RK.
Baca juga: Polresta Bandara Soetta Bongkar Sindikat Penyeludupan Benih Lobster Senilai Rp9 Miliar
Sementara tersangka DS berperan mengurus SMU (surat muat udara) untuk pengiriman 4 koli barang yang berisi 3 koper BBL dan 1 kardus kosong ke Batam. Mendapatkan imbalan sebesar Rp. 1 juta per koper.
“Tersangka RS berperan mengemas BBL, dan mendapatkan bayaran sebesar Rp 1 juta per-koper” beber Yandri Mono.
Untuk tersangka WW berperan menyelundupkan BBL dan memerintahkan AH untuk mencari petugas keamanan yang dapat meloloskan penyelundupan BBL.
“Tersangka AN berperan sebagai packing dan supir pengiriman BBL dangan imbalan sebesar Rp. 400 ribu per koper,” ungkap Yandri.
Dijerat Pasal Berlapis
Atas perbuatannya, para tersangka dikenakan Pasal 92 Jo Pasal 26 Ayat (1) Undang-Undang (UU) RI Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
“Dengan ancaman pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda paling banyak Rp. 1,5 miliar,” tegas Yandri Mono.
Kemudian, Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, dengan ancaman pidana penjara paling lama tahun dan denda paling banyak Rp. 1,5 miliar.
Selanjutnya, Pasal 87 Jo Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3 miliar.
Dengan terungkapnya kasus tersebut, Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Karyoto mengimbau masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah turut serta melindungi dan menjaga kelestarian hewan dari kepunahan.
“Dengan cara tidak melakukan dan memperjualbelikan BBL, dan jangan tergiur dengan keuntungan yang besar. Sehingga dapat merusak kelestarian hewan dari kepunahan,” imbuh Yandri.(ejp)